07 Agustus 2007

Qadla dan Qadar

Berikut ini adalah kompilasi dari nukilan yang diambil dari Malfûzhât yang berkaitan tentang Takdir dan Nasib Manusia. Kumpulan Malfûzhât terdiri dari sepuluh volume dan berisi koleksi diskursus, khutbah dan pidato Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Masih Mau’ud dan Imam Mahdi.
Penterjemah: A.Q. Khalid [Senin, Juli 17, 2006]
“Penerjemahan telah melalui penyuntingan ulang


“A
llah swt. memang tidak mengungkapkan rahasia sistem takdir dan penentuan nasib. Namun, di dalam hal itu [melalui manifestasi-Nya], ada berbagai pokok-pokok kebijakan. Melalui pengalaman saya sendiri dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang mungkin mencapai makam keruhanian yang luhur semata-mata dari hasil upayanya sendiri. Ada berbagai cobaan yang harus ditanggungkan, yang akan membawa seseorang mendekat kepada Tuhan. Siapa yang mampu memecut keras dirinya sendiri dengan sebuah gada? Allah swt. bersifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang [karena itu, cobaan yang datang daripada-Nya pasti membawa ganjaran].

“Saya sendiri telah mengalami hal ini dimana setelah melalui sedikit kepedihan, Allah akan melimpahkan karunia dan berkat yang besar. Yang namanya akhirat itu bersifat kekal. Mereka yang telah berpisah dari diri kita tidak akan kembali. Tetapi kita, dalam waktu tidak terlalu lama malah akan bergabung dengan mereka.
“Dinding di dunia ini [yang memisahkannya dengan akhirat], bukanlah suatu dinding yang solid. Bahkan, dinding ini merupul runtuh [dengan bertambah dekatnya kita ke wilayah sana]. Yang harus dipikirkan ialah tidak ada sesuatu pun yang bisa dibawa dari dunia ini ke alam berikut. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang tahu kapan ia harus berangkat.
“Kapan pun saatnya manusia meninggalkan dunia ini, akan dianggap sebagai saat yang tidak tepat dan ia berangkat berhampa tangan. Karena, hanya amal baik saja yang bisa menyertai seseorang. Nyatanya sering dijumpai adanya orang-orang yang sudah di ambang sakratul maut tetapi masih saja membilang dan menghitung-hitung berapa harta benda yang dimilikinya. Perhatian mereka pada saat demikian masih saja seputar benda duniawi.
“Banyak sekali orang yang berperilaku demikian. Bahkan, dalam Jemaat ini pun dimana ibadah mereka kepada Allah swt. disertai berbagai persyaratan.
“Ada pula beberapa orang yang menyurati saya, memohon didoakan sambil mengatakan bahwa jika mereka dikaruniai sekian banyak uang atau ada keinginan lain yang terkabul, maka mereka berjanji akan menjadi anggota Jemaat ini.
“Orang-orang bodoh ini tidak memikirkan apa untungnya bagi Allah kalau mereka baiat ke dalam Jemaat(!) Jemaat kita ini, sepatutnya memiliki keimanan seperti yang dimiliki para Sahabat Rasulullah saw. yang merelakan kepala mereka di jalan Tuhan.” (Malfûzhât Vol. IX, hal. 381-383)
Dalam suatu percakapan umum ketika beberapa orang mengemukakan bahwa musibah bisa dihindari dengan cara bersedekah dan memberikan infaq, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menyatakan:
“Memang benar demikian. Tetapi, ada pula manusia yang mempertanyakan mengapa takdir Ilahi terdiri dari dua bagian. Jawabannya adalah dengan melihat pengalaman kita sendiri yang menjadi saksi atas suatu kenyataan bahwa: Ketika seseorang menghadapi situasi yang amat mengancam dirinya, jika ia menggiatkan doa atau salat, sedekah dan infaq, ternyata situasi demikian kemudian bisa dihindari.
“Karena itu sepatutnya kita meyakini takdir Ilahi yang dikenal sebagai mu’allaq atau ‘qada yang tertunda’ nyatanya memang ada. Kalau bukan takdir jenis ini dan yang ada ialah ‘takdir yang tidak bisa diubah’ atau ‘mubram’, maka doa, salat dan sedekah tidak akan membawa pengaruh.
“Lalu mengapa suatu situasi yang amat berbahaya bisa dihindari melalui doa dan sedekah? Yang perlu disadari ialah, ada beberapa kehendak Ilahiah yang sifatnya hanya bertujuan menanamkan rasa takut kepada Tuhan serta mengingatkan manusia kepada kemanjuran doa.
“Melalui doa, sedekah dan amal saleh, banyak sekali ketakutan dan mara bahaya yang bisa dihindarkan. Masalah kemakbulan doa mirip dengan hubungan antara wanita dan pria dimana akan terjadi hubungan jika dilakukan pada saat dan kondisi relatif yang tepat serta tidak ada kekurangan yang mengganggu. Hanya saja, jika qadar Ilahiah itu dari jenis yang tidak bisa dihindari, maka jenis yang demikian disebut Mubram dimana doa juga tidak akan berhasil.
“Bisa saja seseorang ingin berdoa tetapi tidak bisa mengkonsentrasikan pikirannya. Sedangkan hatinya tidak meresapi sepenuhnya emosi kepedihan dan kesedihan yang mestinya melambari suatu permohonan doa. Kekurangan konsentrasi ini juga terjadi dalam salat yang bersangkutan. Semua ini, lalu mengisyaratkan bahwa hasil akhir dari situasi yang dihadapi tidak akan baik jadinya. Inilah qadar yang disebut sebagai Mubram yaitu takdir yang tidak bisa dielakkan.
Saat itu seseorang memberi komentar bahwa pada saat putra dari Nawab Muhammad Ali Khan sedang sakit berat, beliau (Hadhrat Masih Mau’ud a.s.) menerima wahyu yang menyatakan bahwa itu adalah takdir Mubram dimana kematian sudah ditakdirkan. Namun dengan syafaat doa Huzur maka takdir itu nyatanya bisa dihindari. Hazrat Masih Maud.a.s. menyatakan:
“Hadhrat Sayid Abdul Qadir Al-JaIlani r.h. (rahmatu'l-Lâh ‘alaih) pernah menulis bahwa terkadang takdir mubram pun bisa dielakkan melalui kekuatan doa. Berkenaan dengan hal ini, seorang ulama terkenal yaitu Syeikh Abdul Haque Muhaddits Dehli mempermasalahkan kalau takdir mubram tidak bisa dielakkan. Lalu apa yang dimaksud oleh Al-Jaelani? Akhirnya ia sendiri juga yang memberikan jawaban bahwa takdir mubram juga terdiri dari dua jenis yaitu yang ‘benar-benar’ mubram sedangkan yang satunya ‘mirip’ mubram tetapi bukan.
“Mubram ‘yang sesungguhnya’ tidak bisa dihindari dalam keadaan apa pun seperti contohnya bahwa manusia pada akhirnya akan mengalami kematian. Qadar ini tidak bisa dielakkan meski yang bersangkutan berkeinginan hidup abadi. Jenis qadar yang mirip Mubram (tetapi bukan), contohnya seperti suatu situasi berbahaya yang amat gawat dimana orang sepertinya tidak akan mungkin melepaskan diri. Keadaan demikian disebut takdir ‘seperti’ Mubram (yang sebenarnya lebih tepat disebut Muallaq yang bisa dielakkan melalui doa dan sedekah). Adapun qadar Mubram yang sesungguhnya tidak akan bisa dielakkan meski misalnya semua Nabi-nabi mendoakannya.” (Malfûzhât Vol. VII, hal. 87-88)
“Kitab Alquran telah menetapkan beberapa hal sebagai pengukuhan prinsip agung; bahwa, Allah yang Maha Kuasa-lah yang Maha Esa dan sumber serta tujuan segala hal. Tetapi, hal ini ditafsirkan beberapa kritikus bodoh sebagai akidah pemaksaan.
“Allah adalah Wujud kausal utama dari segala hal dan Pemelihara semuanya. Ini juga yang mendasari mengapa Allah Yang Maha Kuasa dalam Alquran menyebut Diri-Nya sebagai Kausa dari segala kausa tanpa ada apa pun yang menjadi sarana antara. Namun, Alquran ada juga mengungkapkan terdapatnya media antara yang harus diperhatikan manusia.
“Selain itu, Alquran juga mengemukakan penghukuman atas kejahatan dan menetapkan hukumannya. Kalau sistem qada dan qadar Ilahi sama sekali tidak bisa diubah, dimana manusia harus mengikuti paksaan nasib yang bersifat absolut. Lalu, apa gunanya penetapan adanya ganjaran dan hukuman?
“Yang patut diingat ialah Alquran tidak membatasi segalanya dalam cakupan sistem kausal fisik, tetapi lebih pada menuntun umat manusia kepada ketauhidan Ilahi yang hakiki. Kebanyakan orang tidak memahami fitrat doa dan juga tidak mengerti makna pertalian antara doa dengan takdir Ilahi.
“Allah swt. selalu membuka jalan bagi doa dan tidak akan menolak permohonan mereka. Baik bagi doa mau pun takdir Ilahi, Allah swt. telah menetapkan kapan saatnya yang tepat. Melalui doa, salah satu fitrat Maha Pemelihara telah dianugrahkan Allah swt. kepada mereka yang menyembah-Nya sebagaimana dinyatakan dalam Alquran:
...أدعونىۤ أستجب لكم...
‘...Ud’ûnî astajib lakum...—Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkan doamu...’ (QS Al-Mumin, 40:61)
“Karena itu, saya selalu menyatakan bahwa Tuhan umat Islam selalu mendengar permohonan mereka. Sedangkan tuhan yang tidak pernah mencipta senoktah apa pun atau dikatakan telah mati karena aniaya bangsa Yahudi, bagaimana mungkin ia bisa mengabulkan?
“Tidaklah bijak mencari kesepakatan di antara kondisi pilihan bebas dengan paksaan hanya berdasarkan logika atau nalar semata. Sia-sia saja Anda mencoba memahami rahasia Ilahi. Lagi pula tidak patut rasanya sebagaimana juga dinyatakan oleh Hadhrat Rasulullah saw. ‘Perilaku seorang pencari kebenaran adalah penghormatan semata.’
“Qada dan qadar Ilahi memiliki kedekatan yang sangat dengan doa. Doa bisa mengelakkan berlakunya takdir yang bersifat sementara atau takdir mu’allaq. Doa adalah sarana paling efektif guna menghindari bahaya dan kesulitan. Mereka yang meragukan keunggulan doa sesungguhnya keliru.
Alquran mengemukakan dua aspek daripada doa. Aspek pertama, Allah swt. akan memaksakan kehendak-Nya. Sedangkan pada aspek yang lain, Dia mengabulkan doa seorang hamba. Dalam ayat:
و لنبلونكم بشيء من الخوف والجوع
Wa lanabluwannakum bisyai'im-mina'l-khaufi wal-jû’[i]—...akan Kami beri kamu cobaan dengan sedikit ketakutan dan kelaparan…’ (QS Al-Baqarah, 2:156)
“Allah swt. meminta kepatuhan atas kehendak-Nya. Maksudnya, tanggapan manusia terhadap takdir Ilahi yang bersifat mutlak ialah:
إنا لله و إنا إليه رٰجعون
‘...Innâ li'l-Lâhi wa innâ ilaihi râji’ûn[a]—Sesungguhnya, kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali…’ (QS 2:157)
“Adapun saat kapan tiba gelombang rahmat dan berkat dari Allah swt., diindikasikan dalam Alquran: ‘Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkan doamu.’ (QS 40:61)
“Seorang mukminin haruslah memahami kedua aspek tersebut. Kaum Sufi menyatakan bahwa ketergantungan seseorang kepada Tuhan-nya belum akan sempurna sampai yang bersangkutan mampu membedakan saat dan tempat yang sesuai dalam mengajukan permohonan doa.
“Dikatakan bahwa seorang Sufi tidak akan berdoa sampai ia tahu telah tiba saat yang tepat untuk berdoa.
“Hadhrat Sayid Abdul Qadir Al-Jailani r.h. menyatakan bahwa doa bisa menjadikan seorang yang kasar hatinya menjadi seorang yang lembut. Beliau r.h. bahkan menyatakan kalau marabahaya gawat yang sepertinya merupakan takdir mutlak, nyatanya dapat dihindari.
“Singkat kata, yang harus selalu diingat berkenaan dengan doa ialah terkadang Allah swt. mengharuskan kepatuhan hamba kepada kehendak-Nya. Dan pada saat lain, Dia mengabulkan permohonan hamba-Nya. Dengan kata lain, Dia memperlakukan hamba-Nya layaknya seorang sahabat.
“Doa-doa Hadhrat Rasulullah saw. dikabulkan dalam skala besar. Karena itu, beliau menduduki posisi tertinggi dalam ketakwaan kepada kehendak Allah swt. serta menerimanya dengan hati gembira. (Malfûzhât Vol. III, hal. 224-226)”


-------oooOooo-------

Tidak ada komentar: